oleh: Makmur Gazali*  

nusakini.com - POLITIK Indonesia, saat ini kadang membikin kita mempertanyakan kembali tujuan dasar berbangsa. Bagaimana tidak, saat ini udara politik tanah air kita ini sedang berada dalam titik nadir oleh gelegak kebencian, fitnah dan sumpah serapah. Caci maki demikian menyesaki udara dengan aroma busuk saling menghujat yang tak lagi mengindahkan akal sehat.

Di media sosial, yang kita saksikan hanyalah pertarungan dan perebutan wacana dengan konfigurasi hitam putih, like and dislike. Semangat 'membenci sepenuh hati berhadapan dengan militansi mencintai setengah mati'. Hasilnya gampang tertebak; kita menjelma anak bangsa yang menurut budayawan Moh. Sobari tengah berada pada level politik ‘puberitas’. Anak-anak bangsa yang lagi mengidap psikologis anak ‘puber’ yang mengedepankan emosional dibanding sisi rasionalitas politik seorang warga negara.

Jujur, iklim politik semacam ini memang bermula ketika sekelompok golongan elite politik kita mulai memainkan isu-isu SARA. Elit politik ini mulai ‘memperdagangkan’ ayat-ayat suci untuk dijadikan ‘alat’ politik merebut kekuasaan. Memang tak bisa dinafikkan, agaknya, mereka sangat paham bila politik SARA di negeri punya sejarah pergolakan panjang yang memang belum bisa “berdamai” terdamaikan.

Politik kolonialisme yang meletakkan strata hukum masyarakat dengan basis politik “apartheid” seperti yang ditulis sejarawan Onghokham terus dirawat oleh Orde Baru menjadikannya sebuah komoditas politik ‘api dalam sekam”. Sewaktu-waktu ledakannya bisa demikian liar bila mendapatkan momentum. Dan ini yang gejalanya sudah sangat terasa di negeri ini.

Adanya revolusi teknologi informasi yang ditandai dengan perayaan digitalisasi masyarakat turut memberi sumbangan yang sangat signifikan. Era media sosial kemudian menjadi ‘santapan’ para elit politik yang hanya bisa mengakar dan besar melalui cara-cara sensasi dengan memanfaatkan kelemahan ‘psikologis’ rakyat kemudian membangkitkan kembali “zombie” SARA dengan segala variasinya. 

Maka bertebaranlah hoaks, fitnah, prasangka serta hujatan dengan isu-isu seperti Islam vs Anti Islam, Pribumi vs Non Pribumi yang semuanya dibangun hanya melalui sakwasangka, tuduhan, fitnahan dan syahwat kekuasaan semata. 

Tanpa bermaksud menimpakan kesalahan pada rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun itu, namun jejak pendangkalan politik yang dibenamkannya memang demikian merusak tatanan dan kultur toleransi rakyat di negeri ini. 

Di era Orde Baru inilah rakyat benar-benar dibikin ‘tuna politik’. Pseudo demokrasi yang paling vulgar dipertontonkan dengan melalui pendangkalan literasi politik. Proses tumbuhnya kesadaran politik lewat kultur membaca yang kritis dalam intelektualitas bangsa ini di kubur dalam-dalam.

Tidak mengherankan, setelah keruntuhan Orde Baru dan masuknya kita ke era reformasi, anomali kesadaran politik rakyat sangatlah memilukan. Di satu sisi, tingkat kesadaran membaca masyarakat kita demikian tertinggal jauh dibanding negara-negara Asean lainnya, namun tingkat ‘kenyinyiran’ politik kita demikian menggumpal. Politik kita saat ini adalah politik kebisingan yang sama sekali jauh dari substansi. Perdebatan dan keributan yang ditimbulannya benar-benar sangat artifisial, dangkal dan mempertontonkan ‘kebodohan’ kita sebagai sebuah bangsa.

Bila dibandingkan dengan polemik intelektual tentang kebangsaan, ideologi atau perdebatan kultural dari para founding fathers kita dahulu, bisa dikatakan bagai langit dan bumi. Dan bila kondisi seperti ini berlangsung terus, maka bisa dipastikan kitalah yang bakal menggali liang kubur bangsa kita sendiri. Ironisnya, memang ada kelompok yang memiliki cita-cita seperti itu. Ingin mengganti dasar pondasi kebangsaan kita menjadi sebuah negara berazaskan sektarianisme keagamaan. 

Meminjam mitologi Yunani, saat ini kita bertarung dalam ruang-ruang di sekitar “kotak pandora”. Terus terang saya bergidik ngeri ketika “kotak pandora” tersebut terbuka. (*penulis adalah jurnalis)